Jatim Times Network Logo
Poling Pilkada 2024 Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Poling Pilkada 2024
Peristiwa

Surya Pati Unus dan Awal Mula Madiun: Dari Ngurawan ke Purabaya

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : A Yahya

28 - Sep - 2025, 11:39

Placeholder
Lukisan realis Surya Pati Unus. Ia adalah Sultan Demak II yang dikenal sebagai Pangeran Sabrang Lor. Bukan hanya panglima maritim pemberani yang menantang Portugis di Malaka, tetapi juga tokoh penting dalam proses Islamisasi serta pembentukan politik awal Madiun Purabaya. (Foto: created by JatimTIMES)

JATIMTIMES - Sejarah Madiun sering kali dibingkai melalui kisah heroik-romantis Retno Dumilah dan Panembahan Senopati yang termaktub dalam Babad Tanah Jawi serta dihidupkan kembali lewat seni tari klasik. Namun, jauh sebelum episode itu mengakar dalam imajinasi kolektif masyarakat Jawa, Madiun atau Purabaya telah memainkan peran penting sebagai wilayah transisi dari hegemoni Hindu-Majapahit menuju Islam-Demak. Pada titik inilah sosok Surya Pati Unus, yang kelak dikenal sebagai Sultan Demak II, tampil bukan hanya sebagai pejuang maritim yang gagah berani melawan Portugis, tetapi juga sebagai pionir dalam proses Islamisasi dan pembentukan struktur politik awal Madiun.

Artikel ini berupaya menelusuri jejak Surya Pati Unus dalam sejarah lokal Madiun, dengan menempatkannya dalam konteks runtuhnya Majapahit, bangkitnya Demak, serta dinamika hubungan antara pusat-pusat kekuasaan pesisir dan pedalaman. Narasi akan dibangun secara runut berdasarkan sumber tertulis, tradisi lisan, dan kajian historiografi modern, seraya menimbang ideologi, spiritualitas, dan kepentingan politik yang melatari peristiwa-peristiwa besar tersebut.

Baca Juga : Prakiraan Cuaca Jawa Timur 28 September 2025, Hujan Ringan Muncul di Sejumlah Daerah

Runtuhnya Majapahit dan Kebangkitan Demak

Memasuki paruh kedua abad ke-15, Majapahit telah berada di ambang keruntuhan. Kudeta Girindawardhana dan perang suksesi yang berulang kali meletus semakin mempercepat proses disintegrasi kerajaan besar yang pernah menguasai hampir seluruh Nusantara itu. Konflik internal keluarga kerajaan, kemunduran ekonomi, dan pemberontakan wilayah vasal melemahkan fondasi politik Majapahit.

Menurut tradisi historiografi Jawa, tahun 1478 sering disebut sebagai titik kejatuhan Majapahit, bertepatan dengan berdirinya Kesultanan Demak oleh Jin Bun atau Raden Patah. Meski kronologi ini masih diperdebatkan, fakta historis menunjukkan bahwa Demak tumbuh di atas reruntuhan Majapahit. Hegemoni baru ini tidak hanya menguasai jalur perdagangan pesisir, tetapi juga berusaha menaklukkan sisa-sisa kekuasaan Majapahit di pedalaman Jawa.

Salah satu wilayah penting yang menjadi arena transisi adalah kerajaan kecil Gelang-Gelang atau Pandansalas yang berpusat di Ngurawan, dekat Madiun sekarang. Sejak 1375, wilayah ini cenderung independen dari Majapahit, meskipun secara formal masih menjadi vasal. Ketika Majapahit runtuh, Gelang-Gelang tetap bertahan sebagai monarki kecil. Namun, pada 1528, pasukan Islam Demak di bawah pimpinan Sunan Kudus menaklukkan Pandansalas. Sejak saat itu, kawasan Ngurawan masuk dalam orbit Demak.

Prabu

Adipati Gugur: Jejak Majapahit di Ngurawan

Dalam tradisi lisan Madiun, penguasa Ngurawan pada masa transisi ini dikenal dengan nama Adipati Gugur, salah seorang putra Brawijaya V atau Sri Prabu Kertawijaya. Sebagai keturunan langsung Majapahit, Adipati Gugur mewarisi legitimasi politik Hindu-Syiwa di wilayah pedalaman. Masyarakat Ngurawan pada masa itu sebagian besar masih menganut agama Hindu, dengan tradisi keagamaan yang kuat mengakar dalam kehidupan sosial.

Namun, posisi Adipati Gugur diapit oleh dua kenyataan pahit: pertama, kekuasaan Majapahit semakin rapuh dan kehilangan pengaruh; kedua, Demak sebagai kekuatan Islam baru sedang melakukan ekspansi ke pedalaman. Dalam situasi ini, perkawinan politik menjadi jalan tengah untuk mempertahankan pengaruh sekaligus membuka ruang bagi akomodasi ideologi baru.

Adipati

Perkawinan Politik: Surya Pati Unus dan Putri Adipati Gugur

Tokoh sentral yang kemudian tampil adalah Surya Pati Unus, salah seorang putra utama Raden Patah, Sultan Demak I, dari permaisuri Dewi Murthasimah binti Sunan Ampel. Dalam berbagai sumber ia dikenal dengan sejumlah nama: Raden Abdul Qadir, Pati Unus, atau lebih masyhur lagi dengan julukan Pangeran Sabrang Lor. Gelar terakhir ini melekat karena keberaniannya menyeberangi Laut Jawa menuju Malaka dalam dua ekspedisi besar melawan Portugis. Lahir sekitar 1488, Pati Unus tumbuh dalam lingkungan istana Demak yang sedang naik daun sebagai kekuatan politik baru pasca-runtuhnya Majapahit. Ia dipersiapkan sebagai putra mahkota dan tampil sebagai panglima perang yang disegani pada usia muda.

Catatan Tomé Pires dalam Suma Oriental menyebutkan bahwa pada tahun 1513, “Pate Onus” atau “Pate Unus” berusia sekitar 25 tahun dan baru saja memimpin serangan Demak pertama ke Malaka. Ekspedisi itu memang gagal merebut kota, tetapi mengukuhkan reputasinya sebagai ksatria maritim. Pada 1518, setelah wafatnya Raden Patah, ia naik takhta sebagai Sultan Demak kedua. Tiga tahun kemudian, ia kembali memimpin armada besar untuk menantang Portugis di Malaka. Serangan kedua ini berakhir tragis: Pati Unus gugur dalam pertempuran tahun 1521, sehingga ia hanya memerintah selama tiga tahun. Sepeninggalnya, takhta Demak beralih kepada Sultan Trenggana, adik tiri sekaligus ipar Pati Unus, yang memerintah lebih dari dua dekade berikutnya, antara tahun 1521 hingga 1546.

Dengan demikian, figur Pati Unus menempati posisi unik: di satu sisi ia adalah pahlawan maritim Demak yang gugur melawan kolonial Portugis di Malaka, di sisi lain ia menjadi simpul genealogis dan politis yang menghubungkan kerajaan pesisir Demak dengan kekuatan-kekuatan pedalaman Jawa, termasuk Ngurawan, Purabaya, dan Ponorogo. Peran ganda inilah yang menjadikan Pati Unus tidak hanya tokoh penting dalam sejarah Demak, tetapi juga dalam kisah awal mula terbentuknya Madiun sebagai satuan politik pada abad ke-16.

Menurut tradisi lisan Madiun, Pati Unus menikahi putri Adipati Gugur. Perkawinan ini memiliki makna strategis. Dari sisi politik, Demak berhasil menancapkan pengaruhnya di wilayah pedalaman melalui aliansi perkawinan. Dari sisi agama, pernikahan ini menandai fase awal transisi dari Hindu ke Islam di Madiun. Dari sisi ekonomi, Demak memperoleh akses ke lumbung pangan subur di Ngurawan, yang penting untuk menopang ambisinya sebagai kerajaan maritim sekaligus kekuatan ekspansionis.

Aliansi ini menunjukkan bahwa Islamisasi di Jawa tidak hanya dilakukan melalui dakwah kultural oleh para wali, tetapi juga lewat perkawinan elite politik. Dengan menikahi putri Adipati Gugur, Pati Unus bukan hanya meneguhkan legitimasi politiknya, tetapi juga memperluas jaringan Islamisasi secara damai melalui pengaruh keluarga bangsawan.

Pangeran

Purabaya: Cikal Bakal Madiun

Setelah menikah, Pati Unus membangun pemukiman baru di bagian utara Ngurawan, yang kelak dikenal sebagai Purabaya. Lokasinya diperkirakan berada di Desa Sogaten, sekitar tiga kilometer di utara Kota Madiun sekarang. Pemilihan lokasi ini tidak sembarangan. Purabaya terletak dekat Sungai Madiun, jalur transportasi penting yang menghubungkan pedalaman dengan wilayah lain.

Keputusan Pati Unus membangun pusat baru di Purabaya, alih-alih di Ngurawan, mencerminkan strategi akomodasi. Ia tampaknya tidak ingin memaksakan pengaruh Islam secara frontal di jantung kekuasaan Hindu ayah mertuanya. Dengan mendirikan pemukiman baru, Pati Unus menciptakan ruang bagi perkembangan Islam, sembari tetap menghormati tradisi lama.

Purabaya perlahan tumbuh menjadi pusat pemukiman ramai. Dari sinilah benih-benih identitas Madiun sebagai sebuah entitas politik mulai terbentuk. Kehadiran Pati Unus, meski singkat, memberi fondasi awal bagi transformasi wilayah ini.

Madiun

Kyai Reksogati: Penjaga Warisan Islamisasi

Baca Juga : Sungai Tundo Sepanjang 500 Meter Telah Dinormalisasi Pasca-Ratusan Rumah Tergenang Banjir

Keberadaan Pati Unus di Purabaya tidak berlangsung lama. Pada 1518, ia harus kembali ke Demak untuk menggantikan ayahnya, Jin Bun, yang wafat. Pati Unus kemudian dinobatkan sebagai Sultan Demak II. Namun, masa pemerintahannya hanya bertahan tiga tahun karena ia gugur dalam ekspedisi maritim melawan Portugis di Malaka pada 1521.

Meski demikian, Purabaya tidak lantas ditinggalkan. Untuk menjaga kesinambungan politik dan dakwah Islam, Demak menempatkan Kyai Reksogati sebagai pemimpin lokal. Figur ini sangat dihormati masyarakat, bahkan namanya diabadikan dalam toponimi Sogaten (asal kata: sogat = kediaman). Situs makam Reksogati hingga kini masih menjadi bukti penting jejak Islamisasi awal di Madiun.

Kyai Reksogati bukan hanya pemimpin spiritual, tetapi juga penghubung antara kekuasaan Demak dengan masyarakat lokal. Ia menjadi simbol kesinambungan Islamisasi setelah Pati Unus kembali ke pusat kekuasaan.

Madiun

Purabaya Dibawah Trenggana dan Pajang

Setelah Pati Unus gugur dalam ekspedisi kedua ke Malaka pada tahun 1521, takhta Kesultanan Demak beralih kepada Sultan Trenggana, adik tiri sekaligus iparnya. Selama hampir seperempat abad pemerintahannya, dari 1521 hingga 1546, Trenggana memperluas kekuasaan Demak ke Jawa bagian timur dan pesisir barat. Ekspansi itu tidak hanya bermuatan politik, tetapi juga bernuansa religius karena dimaksudkan untuk memperkuat basis Islam di seluruh Jawa.

Dalam konteks Purabaya, Sultan Trenggana menempatkan putra bungsunya, Pangeran Timur, sebagai penguasa baru. Pangeran Timur merupakan bagian dari garis keturunan langsung Raden Patah dan Trenggana, sehingga penempatannya di Purabaya sekaligus menjadi penegasan status wilayah ini sebagai daerah penting bagi Demak di pedalaman. Letaknya yang berada di tepi Sungai Madiun menjadikannya simpul perdagangan yang menghubungkan pedalaman Jawa dengan jalur pesisir utara. Dengan demikian, Purabaya berfungsi sebagai pusat strategis politik, ekonomi, dan penyebaran Islam.

Setelah Sultan Trenggana wafat pada 1546 dalam ekspedisi militer di Pasuruan, hegemoni Demak perlahan melemah. Pertikaian di antara keturunannya, terutama antara Arya Penangsang dan Jaka Tingkir, menyebabkan banyak wilayah lepas dari kendali pusat. Purabaya pun tidak lagi berada dalam bayang-bayang Demak secara langsung. Pada masa inilah Purabaya masuk ke dalam lingkaran Kesultanan Pajang yang dipimpin oleh Jaka Tingkir dengan gelar Sultan Hadiwijaya.

Di bawah Pajang, Purabaya tetap mempertahankan peran strategisnya sebagai wilayah penyangga antara pusat kekuasaan Pajang dan daerah Jawa bagian timur. Namun, ketika Pajang melemah pada akhir abad ke-16, Purabaya berangsur-angsur masuk ke dalam orbit kekuasaan Mataram Islam yang dipimpin Panembahan Senopati. Proses ini menunjukkan bahwa sejak abad ke-16 Purabaya, yang kelak dikenal sebagai Madiun, selalu menjadi arena tarik-menarik berbagai kekuatan besar: peninggalan Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram.

Trenggana

Warisan Pati Unus: Dari Purabaya ke Banten

Jejak Pati Unus di Madiun memang singkat, tetapi warisan genealogis dan politiknya tidak berhenti ketika ia gugur dalam ekspedisi kedua melawan Portugis di Malaka tahun 1521. Dari perkawinannya dengan putri Adipati Gugur, ia menurunkan sejumlah anak yang kelak membawa pengaruh penting di Jawa, antara lain Pangeran Panggung dan Raden Ayu Pager Gunung. Namun, keturunan yang paling menonjol adalah Raden Abdullah, putra keduanya.

Setelah wafatnya Pati Unus, situasi politik di Demak tidak menentu. Perebutan takhta membuat garis keturunan Pati Unus berada dalam ancaman. Para penasehat dan komandan armada Demak khawatir Raden Abdullah akan menjadi korban intrik, karena sebagian elite Demak menolak klaim keturunannya. Alasan penolakan itu berlapis. Pati Unus dianggap hanya menantu Raden Patah, bukan pewaris langsung. Sementara itu, garis ayah keluarga Pati Unus berakar pada tradisi Arab yang sejalan dengan Kesultanan Banten dan Cirebon, berbeda dengan garis keturunan Raden Patah yang masih ditopang legitimasi Majapahit dari pihak ayah.

Untuk menyelamatkan dan sekaligus mengamankan legitimasi politik keturunan Pati Unus, Raden Abdullah kemudian tidak dibawa kembali ke Demak. Ia diturunkan di Banten, mengikuti arah politik armada yang mendaratkan pasukan di teluk Banten. Di tempat inilah ia kelak mendapat perlindungan dan disintesiskan ke dalam garis politik baru Kesultanan Banten. Menurut tradisi, Raden Abdullah yang juga dikenal dengan nama Pangeran Yunus dinikahkan dengan putri ketiga Sultan Maulana Hasanuddin dari Banten. Perkawinan ini tidak hanya menyelamatkan garis keturunannya, tetapi juga mempererat hubungan kekerabatan antar kesultanan Islam di Jawa.

Masjid Demak

Dengan demikian, warisan Pati Unus tidak berhenti pada kisah heroiknya sebagai Pangeran Sabrang Lor, sang syuhada maritim Demak. Ia juga meninggalkan jejak genealogis yang menyeberangi batas geografis dan politik, dari Purabaya di pedalaman Madiun menuju Banten di ujung barat Jawa. Warisan ini memperlihatkan bahwa sejarah Jawa abad keenam belas bukan hanya kisah runtuh dan bangun kerajaan, tetapi juga tentang kesinambungan darah, percampuran tradisi, dan transformasi identitas dari Majapahit ke Demak, lalu dari Demak ke Banten.


Topik

Peristiwa madiun retno dumilah panembahan senopati babad tanah jawi



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Lamongan Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

A Yahya