Jatim Times Network Logo
Poling Pilkada 2024 Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Poling Pilkada 2024
Peristiwa

LBH Rumah Keadilan dan The Indonesian Institute Teken MoU, Sepakat Kawal Kebebasan Akademik di Kampus

Penulis : Binti Nikmatur - Editor : Yunan Helmy

06 - Nov - 2025, 11:39

Placeholder
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Rumah Keadilan bersama The Indonesian Institute (TII) resmi menandatangani nota kesepahaman (MoU) untuk memperkuat perlindungan terhadap kebebasan akademik di Indonesia. (Foto: ist)

JATIMTIMES - Isu kebebasan akademik di perguruan tinggi kembali jadi sorotan. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Rumah Keadilan bersama The Indonesian Institute (TII) resmi menandatangani nota kesepahaman (MoU) untuk memperkuat perlindungan terhadap kebebasan akademik di Indonesia.

Kesepakatan ini dilakukan bersamaan dengan Webinar Nasional bertajuk “Mendorong Kebijakan Perlindungan Kebebasan Akademik di Perguruan Tinggi di Indonesia”, yang digelar di Malang, Selasa (4/11/2025). Kegiatan ini juga menjadi bagian dari agenda Talkshow Nasional “We Talk 2025”.

Baca Juga : Layanan Kesehatan Semakin SAE, Warga Blitar Puji Program Ambulans Gratis Mas Ibin

Acara yang berlangsung secara hybrid ini diikuti ratusan peserta, mulai dari akademisi, mahasiswa, hingga praktisi hukum. Tujuannya, menjadi ruang refleksi dan diskusi tentang pentingnya menjaga kebebasan akademik di kampus, terutama di tengah maraknya pembatasan riset dan kriminalisasi terhadap sivitas akademika.

Kegiatan Webinar Nasional bertajuk “Mendorong Kebijakan Perlindungan Kebebasan Akademik di Perguruan Tinggi di Indonesia” ini dimulai pukul 19.00 WIB dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Kemudian dilanjutkan sambutan dari Ketua LBH Rumah Keadilan Abd. Somad SH dan Direktur The Indonesian Institute (TII) Adinda Tenriangke Muchtar PhD.

Foto bersama para narasumber dan peserta Webinar Nasional. (Foto: ist)

Foto bersama para narasumber dan peserta Webinar Nasional. (Foto: ist)

Sebagai bentuk kolaborasi strategis, LBH Rumah Keadilan dan TII menandatangani nota kesepahaman (MoU) bersama Pusat Pengembangan Otonomi Daerah (PP Otoda). Kesepakatan ini bertujuan memperkuat sinergi dalam advokasi dan penelitian kebijakan publik, khususnya di bidang pendidikan tinggi.

Dalam paparannya, Adinda Tenriangke Muchtar menyampaikan materi bertajuk “Kebijakan Publik dan Perlindungan Kebebasan Akademik.” Ia menjelaskan bahwa meski secara hukum kebebasan akademik dijamin dalam konstitusi dan UU Pendidikan Tinggi, pelanggaran di lapangan masih marak terjadi.

“Pelanggaran tersebut mencakup kriminalisasi terhadap dosen dan mahasiswa, pembubaran diskusi publik, pembatasan tema riset, intervensi politik dalam pengelolaan kampus, hingga serangan digital seperti doxing dan kampanye pembusukan,” kata Adinda.

Berdasarkan data TII, sepanjang 2019 hingga pertengahan 2025 tercatat sedikitnya 86 kasus pelanggaran kebebasan akademik, dengan korban terbanyak berasal dari mahasiswa dan organisasi kemahasiswaan. Pelaku dominan justru berasal dari pejabat kampus dan aparat penegak hukum.

Adinda menilai lemahnya perlindungan hukum dan tidak adanya standar operasional di kampus membuat banyak kasus dibiarkan tanpa penyelesaian. Ia pun mendorong adanya regulasi khusus perlindungan kebebasan akademik, penyusunan SOP kampus, serta revisi pasal multitafsir dalam UU ITE dan KUHP yang kerap membungkam kebebasan berpikir.

“Kebebasan akademik adalah hak fundamental dan fondasi demokrasi yang harus dijaga bersama agar kampus menjadi ruang ilmiah yang kritis, inklusif, dan membebaskan,” tegasnya.

Pembicara kedua, Dr Dhia Al Uyun SH MH, ketua Serikat Pekerja Kampus, menyoroti melemahnya ruang kebebasan berpikir di universitas. Dalam materi berjudul “Kebebasan Akademik dalam Konteks Ketenagakerjaan Akademisi,” ia menilai perguruan tinggi kini lebih menyerupai korporasi ketimbang institusi ilmu.

Menurut Dhia, birokratisasi dan komersialisasi pendidikan telah menekan independensi dosen serta mempersempit ruang kritis mahasiswa. Ia juga menyoroti meningkatnya praktik diskriminasi, kekerasan seksual, hingga konflik kepentingan di lingkungan kampus yang merusak iklim akademik.

“Pendidikan kini berorientasi pasar, bukan pada pengembangan ilmu pengetahuan. Padahal, kampus seharusnya menjadi tempat tumbuhnya nalar kritis dan kejujuran akademik,” ujarnya.

Baca Juga : Gerobak Cinta, Strategi Pemkab Jember Kuatkan Ekonomi Kerakyatan dari Akar

Dhia juga menekankan perlunya reformasi menyeluruh terhadap kebijakan pendidikan tinggi, termasuk peningkatan transparansi keuangan dan tata kelola kampus.

Sementara itu, Dyah Kemala Hayati SH MH CPLA, aktivis LBH Rumah Keadilan, memaparkan materi bertajuk “Aspek Hukum dan Advokasi atas Pelanggaran Kebebasan Akademik.”
Ia menungkapkan bahwa kebebasan akademik merupakan hak konstitusional bagi setiap dosen, mahasiswa, dan peneliti untuk mencari serta menyampaikan kebenaran ilmiah tanpa intervensi.

“Dalam konstruksi hukum nasional, advokasi terhadap pelanggaran kebebasan akademik memiliki dasar legitimasi yang kuat,” jelas Dyah. 

Dalam hal ini, Ia mengacu pada sejumlah aturan seperti UUD 1945 Pasal 28, UU Bantuan Hukum, UU Advokat, serta PP Nomor 42 Tahun 2013.

Dyah menyebut ada tiga strategi LBH Rumah Keadilan dalam melindungi kebebasan akademik, yakni pendampingan hukum litigasi dan non-litigasi, termasuk bantuan bagi sivitas akademika yang dikriminalisasi karena pandangan ilmiah.

Kemudian strategi kedua adalah advokasi kebijakan, dengan mendorong pembentukan regulasi di tingkat kementerian dan universitas, serta komite independen perlindungan akademik.  Juga edukasi dan literasi hukum, berupa pelatihan HAM bagi dosen dan mahasiswa agar paham hak akademiknya.

“LBH Rumah Keadilan berkomitmen memperkuat kolaborasi multi-aktor dengan lembaga riset, organisasi masyarakat sipil, dan kampus untuk menciptakan ruang akademik yang aman, adil, dan bebas dari tekanan politik maupun kekuasaan.” ungkap Dyah. 

Materi terakhir disampaikan oleh Ria Casmi Arrsa, ketua Pusat Pengembangan Otonomi Daerah (PP Otoda). Ia mengangkat tema “Kebijakan Otonomi dan Tantangan Kebebasan Akademik di Perguruan Tinggi Daerah.”

Menurut Ria, kebebasan akademik di kampus daerah menghadapi ancaman dari regulasi yang represif seperti warisan kebijakan NKK/BKK dan pasal karet dalam UU ITE.

“UU Pendidikan Tinggi selama ini hanya bersifat normatif tanpa mekanisme penegakan yang kuat,” kata Ria. Ia menilai perlindungan kebebasan akademik memerlukan zona integritas akademik, larangan intervensi politik, serta penyusunan pedoman interpretasi UU ITE yang sesuai dengan konteks ilmiah.


Topik

Peristiwa LBH Rumah Keadilan The Indonesian Institute kebebasan akademik sinergi



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Lamongan Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Binti Nikmatur

Editor

Yunan Helmy

Peristiwa

Artikel terkait di Peristiwa